Mujianto Pembunuh Berantai Asal Nganjuk Membunuh 15 Orang Homo Seksual

Written By Muklas Adi Putra on Jumat, 24 Februari 2012 | 21.31

Pengakuan mengejutkan disampaikan Mujianto, tersangka pembunuhan berantai di Nganjuk, Jawa Timur. Pemuda berusia 21 tahun ini mengaku telah meracuni 15 teman kencannya sesama gay sejak 2011.

Dalam sesi wawancara di Markas Kepolisian Resor Nganjuk, Rabu 15 Febaruari 2012, Mujianto mengaku meracuni mereka karena dianggap selingkuhan Joko Suprapto. Joko yang berusia 49 tahun adalah seorang duda majikan sekaligus kekasihnya. “Semua yang berhubungan dengan Pak Joko,” kata Mujianto saat menjelaskan seluruh korbannya, Rabu 15 Februari 2012.

Mujianto mengaku cemburu kepada orang-orang yang berhubungan dengan Joko. Karena itu dia berusaha mencelakai mereka dengan cara dijebak dan diracun. Kepada polisi Mujianto mengaku tak berniat membunuh. “Hanya mengerjai saja biar kapok,” katanya.

Sebelum melancarkan aksinya, Mujianto mencuri semua nomor telepon calon korbannya dari telepon seluler Joko. Selanjutnya dia menghubungi mereka satu per satu dengan dalih ingin berkenalan. Modus ini cukup efektif mengingat hampir semua korbannya berdomisili di luar Kabupaten Nganjuk. 

Setelah merasa cukup dekat, Mujianto mengajak korban bertemu muka di Nganjuk. Setibanya di terminal bus Nganjuk, para korban dijemput Mujianto dengan sepeda motor untuk diajak jalan-jalan. Dalam 

perjalanan tersebut Mujianto sempat melakukan hubungan badan di tempat-tempat umum. Di antaranya areal persawahan hingga toilet Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). 

Usai berkencan, Mujianto mengajak mampir ke warung untuk makan dan minum. Saat itulah dia meracuni minuman korban hingga sekarat. Setelah korbannya lemas, dia memboncengnya lagi dan menurunkan di rumah warga. Kepada pemilik rumah Mujianto mengaku akan memanggil dokter sebelum akhirnya menghilang. 

Kepala Kepolisian Resor Nganjuk Ajun Komisaris Besar Anggoro Sukartono masih menyelidiki pengakuan tersebut. Saat ini polisi masih fokus pada empat korban tewas dan dua korban selamat untuk melengkapi pemeriksaan. “Kami masih akan selidiki sembilan korban lainnya,” katanya.

Dia mengimbau kepada masyarakat yang merasa kehilangan anggota keluarga untuk menghubungi polisi. Sebab hingga saat ini masih terdapat dua jenazah yang belum teridentifikasi di Rumah Sakit Bhayangkara Kediri. Sementara dua korban lainnya sudah diketahui sebagai Basori, 42 tahun, warga Pacitan dan Ahya, 30 tahun, warga Situbondo. 

Kepala Kepolisian Resor Nganjuk Ajun Komisaris Besar Anggoro Sukartono mengatakan korban Mujianto sebenarnya ada enam orang. Empat orang meninggal dunia dan dua lainnya kritis.

Dari empat korban tewas, dua diantaranya berhasil diidentifikasi. Mereka adalah Basori, 42 tahun, warga Pacitan dan Ahya, 30, warga Situbondo. Sedang dua lainnya masih disimpan di kamar jenasah Rumah Sakit Bhayangkara Kediri sebagai Mr X.

Adapun dua korban selamat lainnya adalah Anton Sumarsono, warga Solo yang masih dirawat di RS Bhayangkara Kediri serta Muhammad Faiz warga Blitar. Faiz sudah diperbolehkan pulang setelah sempat dirawat. “Kami akan periksa kondisi pelaku,” kata Anggoro Senin, 13 Februari 2012.

Mujianto, 24 tahun, warga Desa Jatikapur, Kecamatan Tarokan, Kediri, ditangkap tim reskrim Polres Nganjuk Senin, 13 Februari 2012 pagi. “Pelaku tengah berada di rumah Joko, pasangannya,” kata Anggoro.
Kepada polisi, Mujianto mengaku nekat menghabisi empat orang dan melukai dua lainnya karena cemburu. Keenam korbannya adalah para gay yang pernah menjalin hubungan istimewa dengan Joko, kekasihnya.

Modus yang dilakukan Mujianto cukup unik. Dia berpura-pura menyukai calon korbannya untuk kemudian diajak berkencan. Saat itulah Mujianto memasukkan racun tikus ke dalam makanan korban hingga sekarat. 

Setelah melihat korbannya lemas, Mujianto menaikkannya ke atas sepeda motor dan menurunkan ke rumah warga. Kepada pemilik rumah, dia selalu mengatakan korban tengah sakit dan hendak mencari dokter. Setelah ditinggal, pelaku pergi begitu saja hingga akhirnya korban meninggal. 

Peristiwa tersebut sempat menghebohkan warga Nganjuk dalam satu bulan terakhir. Sejumlah warga melaporkan menerima korban keracunan yang ditinggalkan seseorang. Polisi sendiri sempat menduga mereka adalah korban pembiusan di atas kendaraan umum.

Sembilan korban Mujianto yang lain masih belum diketahui nasibnya. Dalam pengakuannya di kantor Kepolisian Resor Nganjuk Rabu, 15 Februari 2012 kemarin, Mujianto mengaku membunuh karena cemburu. Para korban itu adalah lelaki simpanan pasangannya, Joko Suprianto. 

“Kami masih menyelidiki sembilan korban lainnya,” kata Kepala Kepolisian Resor Nganjuk Ajun Komisaris Besar Anggoro Sukartono di Nganjuk, Rabu, 15 Februari 2012.

Sejak 2011, Mujianto meracuni 15 teman kencannya sesama gay. “Hanya ngerjain saja biar (mereka) kapok,” kata Mujianto. (Baca: Korban Tewas Mujianto Enam, Dua Selamat)

Mujianto dibekuk di rumah pasangannya, Joko Suprianto, di Desa Sonopatik, Kecamatan Berbek, Kabupaten Nganjuk, Senin, 13 Februari lalu. Joko adalah duda, 49 tahun, majikan dan kekasih Mujianto. Jejaknya terendus dari pengakuan korbannya yang selamat, yakni Muhammad Fais.

Dalam dua bulan ini, pria 21 tahun itu sudah menewaskan empat orang, yakni Ahyani, 46 tahun, warga Situbondo; Romadhon (55), Sudarno alias Basori (42), keduanya warga Ngawi; dan seorang lagi belum diketahui identitasnya, pria berusia 32 tahun.

Adapun korban selamat adalah Muhammad Fais, 28 tahun, asal Pasuruan, dan Anton S. Sumartono, 47 tahun, asal Surakarta. Sedangkan sembilan korban lainnya belum diketahui nasibnya. 

Salah seorang korban pembunuhan berantai yang diduga dilakukan Mujianto di Nganjuk adalah Ahyani, 46 tahun, seorang pegawai negeri sipil. Ahyani bertugas di Unit Pelaksana Teknis Pelatihan Kerja Kabupaten Situbondo, Jawa Timur.

Menurut Kepala Unit, Ainul Yaqini, korban merupakan pegawai yang berasal dari Solo. Pada 1986, dia diangkat sebagai pegawai negeri di Tuban dan 1991 dipindah ke Situbondo.

Di Situbondo inilah Ahyani menikah dengan Saljunianti, warga Desa Tokelan, Kecamatan Panji. Dari perkawinan tersebut, mereka dikaruniai dua anak.

Ainul bercerita, dia terakhir bertemu Ahyani 30 Desember 2011. Saat itu Ahyani mengeluh sakit. “Ahyani sudah lama punya penyakit diabetes,” katanya saat dihubungi Tempo, Kamis, 16 Februari 2012.

Kemudian pada 1 Januari 2012, Ahyani meminta izin tak masuk kerja pada 2 Januari karena akan menjenguk ibunya di Solo, Jawa Tengah. Namun, keesokan harinya, Ainul menerima informasi bahwa Ahyani ditemukan pingsan di terminal Nganjuk. “Setelah dibawa ke rumah sakit, jam 12 siang Ahyani dikabarkan meninggal,” katanya.

Keluarga menolak jenazah Ahyani diotopsi dan langsung dimakamkan di Solo. Keluarga dan rekan kantornya menduga korban memang tewas karena dibius. Hingga kemudian terungkap bahwa ternyata Ahyani menjadi korban pembunuhan Mujianto. “Kami sangat kaget,” kata Ainul.

Dua dari empat korban pembunuhan berantai oleh Mujianto, 24 tahun, di Kabupaten Nganjuk, adalah warga Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Keduanya adalah Romadhon, 55 tahun, warga Widodaren, dan Sudarno, 42 tahun, warga Desa Sukowiyono, Kecamatan Padas. 

Menurut Suparno, keluarga Romadhon, korban diduga kuat diberi racun tikus melalui bakso yang diberikan Mujianto. “Sebelum meninggal dunia almarhum sempat bercerita pada orang yang menolongnya bahwa ia ditipu dan mengaku sempat makan bakso,” katanya, Rabu, 15 Februari 2012.

Cerita itu didapat dari petugas Kepolisian Sektor Loceret, Nganjuk, pemilik warung bakso, serta warga yang dititipi tersangka pada awal Januari 2012. Sebelum meninggal dunia Romadhon yang sudah terlihat teler dititipkan ke warga di Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk. Kepada warga yang dititipi, Mujianto beralasan, korban adalah temannya yang sedang sakit. 

“Katanya orang ini (Romadhon) sakit dan akan dihubungi keluarganya serta dicarikan dokter,” ujar Suparno menirukan keterangan polisi dan saksi di Nganjuk. Namun orang yang menitipkan korban tak kunjung datang.
Warga akhirnya melapor ke Kepolisian Sektor Loceret. Korban yang semula diduga korban pembiusan lantas dibawa ke RS Bhayangkara, Nganjuk. Setelah dilakukan pemeriksaan, korban ternyata keracunan racun tikus.

Adik kandung korban, Nasir, semula juga menyangka kakaknya menjadi korban pembiusan dan perampokan. “Tidak menyangka ternyata meninggalnya diracun,” ujarnya. Jenazah Romadhon tiba di Ngawi dan dimakamkan pada 7 Januari 2012. “Saat jenazah tiba sempat dilihat dan sama sekali tidak ada luka bekas penganiayaan,” tutur Nasir. 

Keluarga menyangkal Romadhon punya orientasi seksual yang berbeda. Apalagi Romadhon dan istrinya, Siti Fatimah, sudah dikaruniai tiga putri. “Selama ini hubungan almarhum dengan kakak (ipar) saya baik-baik saja, tidak ada tanda-tanda seperti itu,” katanya. 

Tersangka Mujianto mengaku meracuni 15 orang sejak 2011 karena cemburu. Ke-15 orang ini diduga kuat pernah berhubungan badan dengan pasangan gay Mujianto, Joko Susilo, yang tinggal di Desa Sonopatik, Kecamatan Berbek, Kabupaten Nganjuk. Mujianto sendiri merupakan warga asal Desa Jati, Kecamatan Tarokan, Kabupaten Kediri. Mujianto dan Joko sudah lama hidup serumah di Nganjuk. 

Dari 15 orang yang pernah diracun dengan racun tikus lewat makanan dan minuman itu, baru terungkap enam orang. Empat di antaranya akhirnya tewas dan dua lainnya sempat kritis dan bisa diselamatkan. Para korban diracun tidak bersamaan dan empat korban di antaranya meninggal dunia dalam dua bulan terakhir.
Kepala Kepolisian Resor Nganjuk Ajun Komisaris Besar Anggoro Sukartono mengatakan penyelidikan kasus pembunuhan berantai sejak 2011 ini cukup sulit. Polisi membentuk tim khusus setelah korban tewas yang ditemukan di rumah warga berjatuhan.

Menurut dia, awal mulanya para korban diduga merupakan target pembiusan yang marak di angkutan umum. “Begitu jumlah korban tewas mencapai empat orang, saya bentuk tim khusus,” kata Anggoro kepada Tempo, Rabu, 15 Februari 2012.

Pengungkapan ini berawal dari lolosnya Muhammad Faiz, 21 tahun, asal Pasuruan, dari upaya pembunuhan itu. Kala itu Faiz tak menghabiskan minuman es teh yang telah dibubuhi racun tikus oleh Mujianto karena terasa pahit. Saat tubuh korban lemas, pelaku mengambil dompet dan telepon genggam Faiz, lalu kabur. Selanjutnya telepon genggam korban dijual kepada penadah di Nganjuk. 

Berbekal nomor IMEI, telepon genggam milik Faiz yang tertera di dos book, polisi berhasil melacak keberadaan ponsel itu dan menemukan penadahnya. Selanjutnya polisi membuat sketsa wajah Mujianto berdasarkan keterangan penadah ataupun Faiz.

Tak hanya itu, Faiz juga masih mengingat nomor polisi sepeda motor yang dipergunakan Mujianto saat menjemputnya di terminal, yakni AG 2001 XX. “Setelah kami lacak di registrasi kendaraan, terdapat empat nomor polisi dengan angka itu. Dan kami temukan salah satu pemiliknya dengan wajah yang sama di sketsa,” kata Anggoro.

Pelacakan ini, menurut dia, berjalan lebih cepat dari target yang ditetapkan. Pelaku berhasil diringkus tiga hari setelah perburuan dimulai dari target waktu satu pekan. Ketika dikonfrontasi dengan Faiz, dia membenarkan bahwa Mujianto adalah Feri yang memberinya racun.

Dua korban pembunuhan oleh gay di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, dipastikan warga Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. “Dari empat korban yang meninggal dunia, dua orang warga asal Ngawi,” kata Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Kepolisian Resor Nganjuk, Ajun Komisaris Polisi Ali Purnomo, saat dihubungi, Rabu, 15 Februari 2012. 

Tersangka Mujianto, 24 tahun, mengaku meracun 15 orang sejak 2011. Ke-15 orang ini diduga pernah berhubungan badan dengan pasangan gay Mujianto, Joko Supriyanto, di rumah Joko di Desa Sonopatik, Kecamatan Berbek, Kabupaten Nganjuk. Mujianto sendiri merupakan warga Desa Jati, Kecamatan Tarokan, Kabupaten Kediri. Mujianto dan Joko sudah lama hidup serumah di Nganjuk. 

Dari 15 orang yang pernah diracun dengan racun tikus lewat makanan dan minuman itu baru terungkap enam orang. Empat di antaranya tewas dan dua lainnya kritis, tapi bisa diselamatkan. Empat korban diracun tidak bersamaan dan meninggal dunia dalam dua bulan terakhir.

Empat korban tewas adalah Ahyani, 46 tahun, PNS, Desa Tokelan, Kecamatan Panji, Kabupaten Situbondo; Romadhon, 55 tahun, Desa/Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi; Sudarno, 42 tahun, Desa Sukowiyono, Kecamatan Padas, Kabupaten Ngawi; Mr X (belum diketahui), diperkirakan berusia 32 tahun.
Adapun korban selamat adalah Muhammad Fais, 28 tahun, swasta, Desa Kejapanan, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, dan Anton S. Sumartono, 47 tahun, guru, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta (Solo), Jawa Tengah.

Modusnya dengan meracun korban saat diajak jalan-jalan. Setelah teler atau sekarat, korban dititipkan di rumah warga. Warga semula mengira korban adalah korban pembiusan. Namun setelah dilaporkan ke polisi setempat dan diotopsi di RS Bhayangkara, korban dipastikan keracunan. 

Dua korban asal Ngawi itu adalah Romadhon, 55 tahun, warga Desa/Kecamatan Widodaren dan Sudarno, 42 tahun, warga Desa Sukowiyono, Kecamatan Padas. “Benar, dua korban orang Ngawi. Saya sudah koordinasi dengan Polres Nganjuk,” kata Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Kepolisian Resor Ngawi Ajun Komisaris Polisi Sukono. 

Satu dari empat korban tewas sempat dikabarkan bernama Basori asal Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Namun setelah dilacak berdasarkan pengakuan tersangka dan pasangan gay-nya, Joko, serta keluarga korban, Basori hanya nama samaran. Basori ternyata Sudarno asal Ngawi.

“Setelah diteliti lagi, bukan orang Pacitan tapi Ngawi. Saya sudah koordinasi dengan Polres Nganjuk,” kata Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Kepolisian Resor Pacitan Ajun Komisaris Polisi Sukimin.
Satu dari dua korban pembunuhan Mujianto di Nganjuk berhasil diidentifikasi. Istri korban syok saat mengetahui suaminya punya pacar lagi, seorang laki-laki. Ruang penyidikan Satuan Reserse Kriminal Polres Nganjuk mendadak pecah oleh tangis Warsini. Tubuhnya lemas usai melihat foto yang ditunjukkan petugas identifikasi Polres Nganjuk. “Ya, Allah,” katanya diiringi derai air mata, Rabu, 15 Februari 2012.
Ibu rumah tangga asal Desa Sukuwiono, Kecamatan Padas, Kabupaten Ngawi ini mendatangi Polres Nganjuk untuk mengidentifikasi korban pembunuhan Mujianto siang tadi. Sejak 10 Februari 2012 lalu, Warsini kehilangan suaminya, Sudarno, 42 tahun.

Kala itu Sudarno pamit ke sawah. Saat itu Sudarno hanya mengenakan pakaian biasa dan tidak membawa barang berharga. Warsini pun melepas suaminya tanpa rasa curiga. Sejak itu, pria yang telah memberinya satu anak itu tak pernah kembali. 

Warsini tergerak mendatangi Polres Nganjuk setelah melihat tayangan di media massa tentang korban pembunuhan Mujianto. Kala itu polisi menyebut ada dua jasad yang belum teridentifikasi.
Usai menyaksikan foto korban dan ciri-ciri tubuh serta pakaian yang ditemukan polisi, Warsini mengakui bahwa pria itu adalah suaminya. Apalagi Warsini juga membawa Kartu Tanda Penduduk dan Surat Izin Mengemudi milik korban yang identik dengan Sudarno. 

Kepada polisi yang memeriksanya, Warsini mengaku tak melihat keganjilan perilakusuaminya. Namun dia menyadari bahwa Sudarno memiliki banyak teman laki-laki di jejaring sosial Facebook. Selama ini Sudarno memang aktif menjalin pertemanan melalui dunia maya yang bisa diakses di rumahnya.

Kepala Kepolisian Resor Nganjuk, Anggoro Sukartono, mengatakan, identifikasi ini telah menguak salah satu Mr X yang selama ini misteri. Saat ini jasad Sudarno sudah dimakamkan oleh petugas kepolisian di Nganjuk bersama satu jasad lain yang belum teridentifikasi. “Karena identitasnya sudah jelas, saya kira tidak perlu membongkarnya kembali,” katanya.

Dengan demikian, tiga dari empat korban meninggal itu telah terungkap. Mereka adalah Ahyani, 30 tahun, warga Situbondo yang berprofesi sebagai pegawai negeri Pemerintah Provinsi Jawa Timur; Romadhon, 42 tahun, warga Ngawi (yang sebelumnya disebut sebagai Basori, warga Pacitan); serta Sudarno, 42 tahun, warga Ngawi.

Ulah Mujianto yang membantai empat orang sesama gay mengundang kemarahan warga. Penduduk di sekitar rumah majikan Mujianto di Desa Sonopatik, Kecamatan Berbek, Nganjuk menuding Mujianto sebagai perusak kehormatan kampung.

Kecaman ini disampaikan warga saat menyaksikan penggeledahan rumah Joko Suprianto, majikan Mujianto, sore tadi. Saat melihat Mujianto turun dari kendaraan polisi, warga yang memenuhi halaman rumah Joko menyampaikan kekesalannya. “Pendatang baru sudah rusak nama kampung,” kata Didik, 46 tahun, warga Desa Sonopatik, geram, Kamis, 16 Februari 2012.

Didik tidak menyangka Mujianto yang baru dua tahun tinggal di desa ini berbuat sangat keji. Selama ini warga sendiri juga tidak begitu akrab dengan Mujianto. Sebab, Mujianto dikenal selalu berdiam diri di dalam rumah majikannya yang tertutup pagar besi. Sesekali Mujianto terlihat keluar rumah untuk berbelanja ke pasar bersama Joko dengan mengendarai sepeda motor. 

Rumah berukuran 25 x 20 meter yang dihuni Joko Suprianto ini terbilang paling bagus di desa itu. Selain mengajar di Sekolah Menengah Pertama Negeri 6 Nganjuk, Joko juga dikenal sebagai seniman yang piawai memainkan elektone atau organ tunggal. Sebagai warga yang telah delapan tahun berdomisili di kampung itu, Joko cukup akrab dengan tetangganya. 

Karena itu mereka merasa sangat marah ketika mengetahui ulah Mujianto yang dianggap merusak citra Desa Sonopatik. Apalagi korban pembunuhannya cukup banyak dan dilakukan dengan cara sadis. “Saya ingin ikut menghajar saat melihat dia digelandang polisi,” kata Didik.

Sikap yang sama disampaikan Ny Salami, warga setempat. Ia menganggap Joko Suprianto memelihara anak macan di rumahnya. Salami merinding jika mengingat Mujianto yang kerap berpapasan dengannya. “Dihukum yang berat saja,” katanya saat berjejal di depan rumah Joko. 

Mujianto diduga melakukan pembunuhan terhadap empat orang gay dan mencelakai dua lainnya dengan racun tikus. Para korban adalah orang-orang yang dicurigai memiliki hubungan asmara dengan kekasihnya, Joko Suprianto. Kepada polisi, Mujianto mengaku melakukan pembunuhan itu sejak tahun 2011 dengan jumlah korban mencapai 15 orang.

0 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...